Selasa, 03 Februari 2009

CErPeN 1

To late to say “I love u”
cReate by Intan Chubby ^^


Willy menatap kaca. Pemuda itu berusaha mengoreksi penampilannya hari ini. Celana jins denim birunya nampak serasi dengan paduan kaos berkerah warna putih. Corak abstrak di kaos itu membuat Willy nampak tampan dan tidak pucat.

Willy menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Dibasahinya bibirnya yang setengah kering dengan lidahnya. Mata elangnya menatap bentuk wajahnya yang sempurna. Sebuah senyum terbentuk di sana. Saat dia merasa puas dengan apa yang dilihatnya, pemuda metroseksual itu segera keluar dari kamarnya dan menuju Honda civic silver yang terparkir rapi di garasi rumah.
Handphone milik Willy berbunyi tepat saat roda-roda mobilnya baru saja keluar dari garasi. Sebuah sms baru saja muncul. Willy bisa menebak dari siapa sms itu berasal.

“Uda jam 12 nih. Km dmna?dsr jam karet!”

Willy tersenyum tipis, dia menurunkan kecepatan mobilnya. Lalu dengan lincah, jari-jarinya mengetik balasan sms, “Uda di jln non!”

Seketika itu bayangan dari si pengirim sms muncul di dalam ingatan Willy.
Namanya Tania. Dia teman sekelas Willy di kampus. Anaknya periang, suka tertawa, dan super cerewet. Tania tipe gadis kuat yang pantang menyerah. Selalu saja ada kejadian ajaib yang dilakukannya setiap hari.

Seperti kejadian minggu lalu, saat Willy mencarinya untuk mendiskusikan jadwal kerja kelompok. Jantung pemuda itu hampir copot saat melihat gadis yang dicarinya sedang bergelantungan di atas pohon mangga yang ada di sudut kampus. Sedang di bawah pohon, ada anak-anak kecil yang dengan setia menunggu Tania melempar mangga yang ranum di atas sana.

Bahkan baru-baru ini, Tania mempunyai hobi baru lainnya, yaitu bermain dan mengejar layang-layang bersama anak-anak kecil yang tinggal di perkampungan di dekat kampus. Sepatu high heelsnya dijinjing. Dan dengan telanjang kaki, gadis itu berlari-lari di atas aspal yang penuh kerikil kecil.

Melihat semua itu Willy hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sudah lelah menegur tingkah Tania. Setiap ditegur, dengan wajah imutnya yang dibuat memelas, gadis itu menunduk dan minta maaf. Janji tidak akan mengulangi tindakan-tindakan berbahaya pun keluar dari bibir mungilnya. Namun tetap saja nantinya akan diulangi lagi.

Willy sayang pada Tania. Dia tidak ingin gadis itu mendapat masalah. Namun hanya sayang sebatas teman dan adik. Tidak lebih!

“Suka nggak? Sayang nggak?” Tanya Tania saat mereka makan siang di kantin dulu. Matanya yang bulat dan indah menatap Willy dengan penuh harap.

Willy mendesah pelan lalu menjawab dengan asal, “Iya iya, suka, sayang…”

Saat mendengar jawaban itu, Tania bersorak gembira. Langsung dipeluknya tubuh Willy dari samping dan sebuah kecupan singkat pun mendarat di pipi kiri pemuda itu.

“Heeh, belum selesai.” Willy protes. Tania menatapnya dengan bingung.

“Suka sih suka, sayang sih sayang,” lanjut Willy, “tapi suka sebagai temen, dan sayang sebagai adek.”

Tania langsung melepasakan pelukannya. Wajahnya merengut. Dimonyongkannya bibirnya hingga lima senti ke depan. “Yeee… dari dulu levelnya kok nggak naek-naek sih?” sungutnya kecewa.

Willy selalu merasa geli saat mengingat hari-harinya bersama Tania. Sudah puluhan kali gadis itu mengatakan bahwa dia suka dan sayang pada Willy. Tidak hanya sebagai teman, tapi juga suka dan sayang layaknya wanita menyukai pria.

Walau perasaannya itu bertepuk sebelah tangan, namun Tania tak pernah sekalipun terlihat benar-benar patah hati. Malah makin hari dia makin mendekatkan dirinya pada Willy. Dengan optimis dia selalu berkata bahwa suatu saat nanti dia akan membuat Willy memintanya untuk menjadi kekasihnya.

Honda civic Willy berhenti tepat di depan rumah Tania. Gadis itu sudah ada di sana sedari tadi, menunggu Willy dengan wajah dilipat-lipat karena kesal.

“Dasar tukang ngaret.” Omel Tania saat dia sudah duduk di kursi penumpang di di samping Willy, “Janjinya jam sebelas, sekarang udah jam berapa hah?”

Willy kembali melajukan mobilnya di atas aspal, “Iya iya,” katanya dengan suara penuh penyesalan, “Maaf deh.”

“Maaf maaf, maafku udah habis tau! Tiap hari sukanya minta maaf mulu….” Dan bla bla bla.

Seperti biasa Tania mulai mengomel dengan lancarnya. Willy sudah hafal dengan itu semua. Karena dia sudah biasa diomeli Tania tiap dirinya melakukan kesalahan walau hanya secuil.
Willy heran mengapa dia tidak bisa menjauhi Tania. Padahal dia mengetahui bagaimana perasaan gadis itu padanya.
Jujur, awalnya Willy jadi merasa canggung saat bersama Tania sejak gadis itu mengutarakan perasaannya. Namun saat melihat kalau Tania tetap tenang seperti biasa, perlahan-lahan Willy pun bisa menghilangkan rasa canggungnya itu. Dia mulai bisa menganggap kalau perasaan suka Tania hanya bagian dari lelucon tidak lucu yang biasa dilontarkan gadis itu.

Willy memakirkan mobilnya di basement mall yang ditunjuk Tania. Setelah yakin kalau posisinya benar, pemuda itu segera mematikan mesin dan keluar dari kendaraannya.

“Kamu nggak ngrasa ada yang beda hari ini ?” Tanya Tania seraya berjalan di samping Willy. Mereka berdua berjalan menuju lift yang ada di tengah-tengah basement.
Willy menatap Tania dari atas sampai bawah.

Hari ini gadis berambut panjang itu mengenakan gaun terusan lengan pendek berwarna merah darah. Syal rajutan warna hitam tampak cocok menghiasi lehernya yang jenjang. Sebuah sepatu high heels yang juga berwarna hitam, membuat kaki Tania yang putih dan mulus terlihat indah.

Seperti biasa, Tania selalu bisa terlihat menarik di depan setiap orang termasuk Willy. Namun mengapa sampai saat ini dia tidak bisa membalas perasaan gadis itu?
Willy menyayangi Tania sebagai sahabat. Tapi, apa benar hanya sebatas itu? Akhir-akhir ini ada perasaan lain di hatinya untuk Tania. Perasaan aneh yang benar-benar tidak bisa dipahami oleh dirinya sendiri.

“Emang apanya yang beda?” Tanya Willy yang tidak mengerti kata-kata Tania.

“Dasar!” gadis itu meninju perut Willy pelan, “Ini kan baju baruku yang kemarin aku beli sama kamu!” wajahnya cemberut, namun tetap terlihat manis di mata Willy.”Gimana menurutmu?”
Tanya Tania seraya mundur tiga langkah dari Willy dan lalu berputar pelan agar pemuda itu bisa menilai secara keseluruhan.

Deg…

Perasaan aneh itu datang lagi. Jantung Willy berdetak dua kali lipat dari biasanya. Tiba-tiba saja pemuda itu merasa gugup dan tidak punya keberanian untuk menatap Tania yang sedang tersenyum manja.

“Cocok nggak?” Tanya Tania penuh harap, “Cantik nggak?”

Willy menatap tangga darurat di samping Tania dengan salah tingkah, “Iya, cocok. Cantik!” jawabnya sambil berusaha seolah tidak terjadi apa-apa pada jantungnya.

“Beneran? Cantik?” Tania terlihat gembira. Tawanya membuat jantung Willy serasa berhentik berdetak untuk beberapa saat.

“Iya.” Jawab Willy singkat.

“Ehhmmm….” Tania menatap Willy dengan penuh arti. Sebuah senyum kecil tersungging di wajahnya yang manis. Willy sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan gadis itu nanti. Hal ini sudah sering terjadi, namun enatah mengapa kali ini Willy merasa bingung untuk menanggapi kat-kata Tania itu.

“Kalau gitu udah suka belum? Udah sayang belum? Rasa suka dan sayangmu udah naik level belum?” tanyanya dengan nada suara yang selalu terdengar optimis.

“Hah?”

“Udah bisa bilang I love u belum?”

Willy terdiam. Untuk pertama kalinya dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Perasaannya kacau balau. Otaknya serasa tak berfungsi untuk berpikir.

Saat Willy sedang bimbang dan saat Tania menunggu-nunggu dengan penuh harap, tiba-tiba saja dari arah tangga darurat terjadi keributan.
Muncul seorang pria bersenjata yang sedang dikejar-kejar oleh tiga orang satpam dan beberapa pengunjung mall yang terlihat marah. Kejadian itu terasa begitu cepat bagi Willy. Dalam sekejap mata, tiba-tiba saja Tania sudah ada dalam dekapan pria asing itu. Sebuah pistol hitam mengkilap menempel di pelipis gadis itu. Pelatuknya sudah ditarik, siap untuk menembus kepala Tania.

Willy terbelak kaget. Emosinya seketika itu meluap. Dia ingin menolong Tania dari pria itu. Namun saat kakinya baru akan melangkah, pria itu berteriak marah padanya dan pada orang-orang yang mengejarnya, “Jangan bergerak. Tidak boleh ada yang bergerak! Kalau ada yang bergerak, gadis ini akan aku tembak!”

Syaraf di kepala Willy langsung berdenyut keras. Kepalanya langsung terasa pusing saat mendengar ancaman itu.
Wajah Tania memucat. Namun tak lama kemudian ekspresi wajah itu berubah menjadi ekspresi tegar yang dibuat-buat. Sikap sok berani Tania kambuh lagi walau sebenarnya hatinya tak berhenti ketakutan. Kemudian, tanpa pikir panjang, gadis itu mulai mengomel, “Kok aku yang disandera? Aku kan nggak tau apa-apa.” Dan bla bla bla…

Willy menelan ludah dengan susah payah. Ada sedikit rasa geli yang dirasakannya saat melihat tingkah Tania. Sempat-sempatnya dia mengomel di saat-saat berbahaya seperti ini. Namun dengan omelan itu, Willy berpikir bahwa mungkin saja konsentrasi pria asing itu jadi berkurang. Willy ingin memanfaatkan situasi tersebut. Dengan perlahan-lahan dia mulai melangkahkan kaki ke samping. Membelakangi si pria dan lalu berniat melumpuhkannya.

Namun… DOOORRRR…

Sebuah peluru melesat di samping Willy. Rupanya pria itu mengetahui niat Willy dan tanpa memberi peringatan, peluru pun ditembakkan.
Peluru itu hanya menggores sedikit kulit lengan Willy. Namun hal itu sudah berhasil membuat semua orang yang ada di sana schok dan takut.

“Mundur!!” teriak pria itu pada Willy, “Atau kepalamu yang akan pecah!”

Dengan amat sangat terpaksa, Willy menurut. Pemuda itu mundur lima langkah ke belakang. Membuatnya makin jauh dari Tania.

“Sialan.” Sebuah suara kemarahan terdengar oleh indera pendengaran Willy. Pemuda itu memalingkan wajahnya dari si pria asing dan menuju ke pemilik suara yang ternyata adalah Tania.

Gadis itu sudah pulih dari rasa schoknya. Dan kini wajah yang biasa penuh senyum itu, memancarkan kemarahan yang luar biasa.

Tania menyodok perut si pria asing itu dengan sikutnya, “Dasar penjahat kurang kerjaan!” katanya seraya menendang selangkangan pria itu dengan sekuat tenaga.

“Berani-beraninya mau nembak Willy! Berani-beraninya mau bunuh orang yang paling aku suka. Dasar penjahat nggak punya otak!”

Tania menghajar pria itu dengan high heelsnya, “Kamu salah milih sandera tau! Kemarin aku baru aja daftar kelas karate. Nih, rasain!” Tania menendang dan memukul dengan kesal. Setelah puas, dibiarkannya si pria tergolek di atas aspal dengan wajah penuh luka.

“Kalau sampai Willy kenapa-napa awas aja!” ancamnya.

Willy terhenyak. Dia hanya terdiam tak percaya saat melihat tingkah ajaib Tania. Bahkan saat Tania sudah ada di hadapannya untuk memeriksa luka kecil di lengannya, Willy masih ternganga tak mampu bicara.

“Fiuuh… untung kamu nggak apa-apa.” Ucap Tania lega, “Kalau kamu kenapa-napa aku bakal sedih nih. Soalnya kamu jadi nggak bisa bilang I love u ke aku hehehehe.” Sebuah senyum manja tersungging di wajah Tania yang seperti anak kecil.

“Hah?” Willy masih tak mampu berkata-kata.

Sikap Tania benar-benar tenang. Dia bersikap seolah-olah kejadian buruk yang menimpanya tadi sama sekali tidak ada. Tanpa beban sedikitpun dia masih mampu meneruskan pertanyaan yang tadi belum sempat dijawab Willy.

“Jadi…” Tania kembali tersenyum, “Sudah bisa bilang I love u belum….?”

“DOOORRR…”
Kata-kata Tania terputus. Senyum di wajahnya mendadak menghilang. Digantikan dengan ekpresi terkejut yang amat sangat. Sedetik kemudian wajahnya memucat. Matanya terbelak kosong.

Dari balik bahu Tania yang kecil, Willy melihat pria asing itu mengarahkan moncong pistolnya ke arah Tania. Willy tidak tau bagaimana bisa pria itu lolos dari kepungan satpam dan para pengunjung mall. Kini pria itu telah pergi melarikan diri lagi diikuti oleh orang-orang yang sedari tadi mengejarnya.

Kini di basement hanya ada Tania dan Willy, serta dua orang penjaga basement yang panik memanggil polisi dan ambulance.
Semuanya bagai slow motion di kepala Willy.
Dia menatap Tania. Wajah gadis itu kini sepucat kertas. Dengan takut Willy menunduk ke bawah untuk melihat tubuh Tania. Semuanya terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang aneh. Tidak ada luka. Tidak ada darah. Hanya…hanya ada noda basah di baju bagian dada Tania. Makin lama makin membesar dan basah.

Sedetik kemudian, tubuh Tania ambruk dalam pelukan Willy. Pemuda itu baru sadar kalau noda basah itu adalah darah ketika kaos putihnya mendapat corak baru saat tubuhnya menyatu dengan tubuh Tania.

Willy berlutut di atas aspal sambil setia mendekap Tania dalam pelukannya.
“Tan…Tania.. Tania bangun!” pinta Willy seraya menepuk-nepuk pipi gadis itu yang tiba-tiba jadi sedingin es.

Kedua bola mata Tania terbuka dan tak berkedip menatap Willy. Namun sayangnya saat ini kedua mata itu tidak dipenuhi dengan tatapan manja seperti biasanya. Kedua mata itu kini kosong. Hampa. Dan mati…
Sebuah air mata turun dan membasahi pipi Willy. Perasaan menyesal mendorongnya hingga tersudut.

“Udah suka belum? Udah sayang belum?” suara Tania terngiang-ngiang di telinga Willy.
“Aku suka Willy. Suka banget. Sayang banget.”
“Terus kapan dong bkal bilng I love u nya? Kalau udah nenek-nenek?”
“Pokoknya aku bakal bikin kamu bilng I love u.”
“Udah bisa bilang I love u belum?”

Willy menutup kedua bola mata Tania dengan telapak tangannya yang gemetar. Hatinya sakit bukan main. Rasa kehilangan yang amat sangat memenuhi hatinya. Dengan perasaan kacau balau, dikecupnya dahi Tania yang berponi.

“I love u…” ucapnya dengan suara serak karena air mata, “I love u Tania …I love u…I love u…I love u…I love u….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar